div.TabView div.Tabs { height: 24px; overflow: hidden; } div.TabView div.Tabs a { float: left; display: block; width: 90px; /* 70px */ text-align: center; height: 24px; /* 2opx */ padding-top: 3px; vertical-align: middle; border: 1px solid #000; /* blue */ border-bottom-width: 0; text-decoration: none; font-family: "Times New Roman", Serif; /* white */ font-weight: 900; color: #000; /* white */ } div.TabView div.Tabs a:hover, div.TabView div.Tabs a.Active { background-color: #FF9900; /* blue */ } div.TabView div.Pages { clear: both; border: 1px solid #6E6E6E; /* blue */ overflow: hidden; background-color: #FF9900; /* blue */ } div.TabView div.Pages div.Page { height: 100%; padding: 0px; overflow: hidden; } div.TabView div.Pages div.Page div.Pad { padding: 3px 5px; }

Selamat Datang di Blogsite Indra Nugraha

SELAMAT DATANG DI BLOGSITE INDRA NUGRAHA

menu

Tab 1.1
Tab 1.2
Tab 1.3
Tab 2.1
Tab 2.2
Tab 2.3
Tab 3.1
Tab 3.2
Tab 3.3

Selasa, 19 April 2011

Menggenggam Keajaiban




Sabar, Ikhlas dan berpikiran positif  tentang segal;a hal. dengan itu saja dunia akan terlihat berbeda (Citra Mustikawati)
Hampir saja aku membuang mimpi–mengenyam bangku kuliah–ke got selokan dan tak akan kubiarkan seorang pun memungutnya kembali, membiarkan hanyut terbawa air dan bermuara di luasnya samudera. kemudian hilang ditelan bumi–termakan buasnya ikan paus.
rasa pesimis telah merusak syaraf neuronku, meranggas dendrit-dendrit otakku dan menjalar ke seluruh aliran peredaran darahku.
Tidak mungkin, semua hanya mimpi saja! Nalarku slalu mengutuki keadaan. tapi nurani berkata lain, tak bisa dibohongi keinginan untuk menjadi manusia terpelajar dan merasakan bangku kuliah begitu menggebu. hasrat ini terlalu kuat, hingga aku tak bisa menahannya.
Tapi, mungkinkahmimpi ini terwujud tanpa di-amini oleh materi? sebuah alasan klasik bernama uang telah menghadang jalanku. tak sepeser pun aku miliki. lalu mungkinkah??
Tidak! Nalarku berteriak lantang, sementara nurani terjepit. menangis dalam sesak.
Aku telah berusaha mengikhlaskan segalanya. mengubur keinginanku untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi sedalam-dalamnya dan bekerja–seperti yang keluarga harapkan. apa saja. menjadi buruh pabrik atau bahkan menjadi pengrajin meubel. dan selembar kertas sakti pertanda hasil perjuanganku selama tiga warsa terakhir akan berujung di pabrik
Nurani; aku ingin menjadi seorang akademisi! bukan buruh pabrik!!!
lantas situasi benar-benar dilmatis. orangtua sudah jelas-jelas angkat tangan, tak lagi berniatmemberikan kucuran dana. mamah yang sudah dua blas tahun menjadi single parent selalu bilang,”Kalau mau kuliah pakai uang sendiri. mamah sudah tak sanggup membiayai kuliahmu. membiayai sekolah Rizal dan Risma saja sudah tak sanggup. apalagi membiayai kuliahmu??”
Mendengar kata-kata itu, hatiku remuk sektika.
Dan, doa-doa yang kupanjatkan setiap hari seakan menemui kesia-siaan. doa yang trpanjat sehabis shalat lima waktu, dalam sujud rakaat terakhir, dalam shalat malam tak pernah termustajabkan. Tuhan tak pernah menjawab doaku. hampir sja aku murka terhadap’Nya.
kesulitan ekonomi, aku ingin mengnyahkan hal itu di muka bumi ini. tapi dengan cara apa? aku slalu percaya, bahwa satu-satunya cara untuk memutus mata rantai kemiskinan adalah dengan pendidikan. itu saja. dngan situasi seperti ini, aku tak yakin bisa memutus rantai itu. Tuhan tak menjawab doa-doaku.
Tetapi kemudian, sebuah skenario ajaib telah terjadi dalam hidup ini. sesuatu yang diluar dugaanku. Indah, dan terjadi tepat pada waktunya.
Ceritanya seperti ini …
Adalah RONI! seorang sahabat — atau barangkali lebih tepat kusebut dia sebagai seorang saudara. disebut saudara karena sudah sangat dekat. teman sekelasku selama tiga tahun berturut-turut semasa SMA dan hingga saat ini still my best friend. dialah yang mngantarkan aku dalam jbakan sknario ajaib itu. beruntunglah aku mempunyai sahabat seperti dia.
siang itu, dia datang ke rumahku membawa sbuah brosur pendaftaran mahasiswa UIN SGD Bandung beserta rincian biayanya. reaksiku biasa saja.
“Murah pisan Dra! de ngan uang satu juta rupiah sudah bisa masuk kuliah. Negeri pula!!!” Barangkali untuk orang seperti Roni, satu juta rupiah memang angka yang kcil, tapi bagiku? ini besar sekali. tak sepeser pun aku punya. lantas mungkin kah?!
bagiku ini seperti lelucon. jelas-jelas tak mungkin.
“Aku sudah mmbli dua formulir Dra. satu untukmu dan satu lagi untukmu. bagaimana kawan? setuju kan? besok kita ke UIN lagi untuk pengembalian formulir. isikan kode yang sama oke! kita masuk jurusan jurnalistik, biar sekelas lagi!” mimik wajahnya begitu sumringah. aku tak tahu apa yang ada di pikirannya.
“Satu juta Ron! Dari mana?” Nadaku rendah. formulir pemberian dari ROni kuperhatikan dengan seksama.
“Waktu pembayaran kan masih lama? percaya sama Allah. pasti ada jalan. Orang yang mau melakukan kejahatan saja masih diberi jalan, apalagi kamu, yang jelas-jelas berniat baik; menuntut ilmu!” Hening. mataku masih melihat lekat mengamati setiap kata yang tertulis di formulir itu.
“Ya, hitung-hitung rekreasi lah … masalah kuliah jadi atau tidak, itu urusan Allah. setidaknya kau pernah merasakan mengikuti test masuk perguruan tinggi. bagaimana kawan?” setelah berpikir lama akhirnya aku mengangguk. setuju!
Tak apa lah. bagiku seperti senyuman pelipur lara. benar apa kata Roni. meskipun tak jadi kuliah,setidaknya aku pernah mengikuti test masuk perguruan tinggi.
dan segalanya mengalir begitu saja. Aku mengikuti bimbingan test masuk UIN, mempelajari soal-soal yang akan diujikan. seolah-olah aku bnar-benar akan kuliah. meskipun aku tahu, semua akan berujung dengan kesia-siaan.
meski demikian, ada yang janggal pada diri ini. entah mengapa, aku begitu yakin, seperti lebih dekat dengan mimpiku. keyakinan untuk bisa kuliah begitu kuat. meski tak mempunyai uang. sepeser pun.
***
30 Juli 2009
Waktu mengalir begitu cepat. tibalah saat pengumuman kelulusan masuk UIN SGD. aku perhatikan dengan seksama nama-nama peserta test yang masuk UIN yang terpajang jelas di koran Radar bandung.
Aku lulus. masuk pilihan pertama; Jurnalistik. bagiku rasanya campur aduk. antara senang, tapi di sisi lain merasa miris. hari itu aku meengambil formulir registrasi, surat tanda kelulusan dan resi pembayaran. hanya sebagai kenang-knangan saja. bukti kalau aku prnah ikut dan lulus test masuk perguruan tinggi.
Roni yang melihat gurat kesedihan diwajahku tentu merasa bersalah. senyumanku terasa pahit. dia menepuk pundakku seraya berkata,”Tenang saja. masih ada waktu. you’ll never walk alone …”
benarkah masih ada waktu?! aku perhatikan dengan seksama berkas yang kuambil. sbuah kalimat hampir mematikan urat nadiku: “Waktu Registrasi Fakultas Dakwah dan Komunikasi tanggal 10 Agustus 2009.”
Itu berarti, dalam waktu 10 hari aku harus mengumpulkan uang satu juta rupiah. Mungkinkah??
***
1 Agustus 2009
telepon genggamku bergetar, pertanda sebuah pesan singkat baru saja masuk dan siap untuk dibaca,”Kawan, Alhamdulilah lulus masuk Unpad. ini wujud nyata kekuatan doa kawan … nanti malam ke rumah. jangan ke mana-mana.”
Berita yang begitu menggembirakan. Impian Roni terwujud. ia memang ingin sekali masuk k perguruan tinggi trsebut. ada pun ikut seleksi masuk UIN hanya sebagai alternatif saja, kalau-kalau tidak diterima di Unpad.
Tapi, bagaimana dengan nasibku? aku tidak tahu.
Malam itu, Roni datang ke rumahku.
“Nyumbang tiga ratus ribu aja ya Dra … sisanya kita cari bareng-bareng. masih ada waktu sembilan hari lagi bukan?” Aku terima uang pemberian Roni. rasanya berat sekali. aku sudah terlalu sering merepotkan dia. Ah, maafkan aku saudaraku …
“Nyari dari mana Ron?”
“Ngutang dulu lah … Terdesak! kita cari bantuan anak-anak yang lain. Tenang saja lah..  Allah pasti akan membarikan jalan.”
Malam itu, hatiku serasa disentuh oleh tangan selembut sutera. kebaikan saudara yang begitu tulus membantu mewujudkan apa yang aku idamkan. antara haru dan kebahagiaan yang tak terdeskripsikan.
virus pesimisme telah hilang sepenuhnya. dan keyakinanku berlipat ganda.
***
5 Agustus 2010
Aku belum mendapatkan uang tambahan. masih sama; Tiga ratus ribu rupiah. teman-teman yang tadinya berniat memberikan pinjaman dana, satu persatu tumbang. aku tak tahu bagaimana caranya menambah kekurangan dana tersebut. aku berniat mundur saja.
tapi, jika aku mundur, berarti aku teelah menyia-nyiakan dukungan yang Roni dan sahabat karib berikan. sekalipun aku tak mau mengecewakan orang-orang terdekatku.
aku hanya mempunya satu kekuatan; keteguhan hati. itu saja.
***
Malam hari, 6 Agustus 2009
Melepas rasa stress, baiknya berinternet ria. itulah yang aku lakukan. setidaknya untuk mencairkan sedikit galau yang melanda jiwaku. aku kemudian membuka situs jejaring sosial Facebook dan segera meng-up-date statusku; Uang kuliah masih kurang Tujuh ratus ribu.
Bunda Paula– seorang wanita berusia setengah abad–aku biasa memanggilnya begitu. seorang teman dunia maya yang aku kenal lewat Chattingroom Kick Andy. sekalipun aku tak pernah berjumpa dengannya. tapi rasanya sudah akrab sekali. mungkin karena sering ngobrol lewat chatting.
malam itu, aku chat bersama beliau dan menceritakan kondisiku. tentang keinginanku untuk kuliah dan situasi ekonomi yang tidak mendukung. aku seperti bercerita kepada ibuku sendiri. berkeluh kesah tentang segalanya.
“Yang Sabar, Tuhan pasti akan memberikan jalan yang terbaik buat kamu …” malam itu, aku tertidur dengan perasaan campur aduk.
***
Pagi hari, pukul 09.00 7 Agustus 2009
Telepon genggamku bergetar, pertanda sebuah pesan singkat siap dibaca. segera kuraih telepon genggamku yang sedari tadi tergeletak di atas meja.
sebuah pesan singkat kubaca dengan seksama. air mata tanda rasa haru tak terasa telah meleleh. Tuhan menjawab doa-doaku dengan caranya sendiri. dengan sesuatu yang tak prnah aku bayangkan sebelumnya.
“Dra, saya sudah transfer uang satu juta. kuliah yang rajin ya! kedepannya saya kirim 200rb per bulan.” Sender: Bunda Paula
pesan singkat itu segera kubalas:
“Kebaikan bunda akan Indra bayar dengan prestasi. Semoga Tuhan  membalas kebaikan bunda dengan rezeki yang melimpah. Amien …”
***

[+/-] Selengkapnya...

Puisi Terakhir

Malam begitu larut. Namun matanya masih belum terpejam. Sesekali suara jangkrik di luar rumah bersahutan dengan desau angin memecah keheningan. Sebatang rokok kretek yang terjepit mesra di tangannya ia hisap perlahan.  Entah sudah batang rokok keberapa yang ia hisap, ia sendiri tak tahu. Rasa penat yang melanda jiwa memaksanya untuk terus menghisap puluhan batang rokok. Asap mengepul di udara. Kamar kontrakannya yang hanya berukuran empat kali empat meter itu, seketika menjadi pengap. Jendela kamar ia buka, angin dingin masuk menyelinap. Menyapu wajahnya yang letih. Rasa pengap itu perlahan hilang. “Ning, dua tahun telah berlalu… Luka di hatiku belum sirna. Aku takut tak bisa merawat Sum dengan baik…” Lirih. Nadanya terasa berat.  Matanya menengadah ke atas, menatap atap kamar kontrakan. Sepi, tak ada jawaban.
Dua tahun yang lalu istrinya Ning, meninggal dunia. Kanker di otaknya telah merenggut nyawa perempuan yang sangat disayanginya itu. Sejak saat itu, dia lah yang harus banting tulang untuk membesarkan Sum. Anak perempuan semata wayangnya. Sendiri, berperan sebagai ayah sekaligus ibu yang baik untuk anaknya.
Sum sudah tertidur lelap. Barangkali ia tengah berada di alam mimpi indahnya.  Bertemu dengan Ning di surga sana, seperti yang selalu ia harapkan.  Sebuah buku tulis yang kusam nan lecek mengalihkan perhatiannya. Buku tulis yang dipeluk mesra oleh kedua tangan Sum. Buku yang ia hadiahkan kepada Sum saat kenaikan kelas itu sekilas tampak biasa saja. Namun  naluri mengajaknya untuk segera mengambil buku itu. Ia mulai mengendap-endap, berharap anaknya tak menyadari bahwa ia mengambil buku tersebut.
Buku telah ia dapatkan,  Perlahan ia buka halaman pertama buku tersebut. Tulisan-tulisan Sum yang terangkai indah pada akhirnya telah menyita perhatiannya.
“Ayahku tercinta, tak cukup kata untuk menuliskan betapa aku mencintaimu. Bagilah beban hidupmu kepadaku. Biar sedikit meringankan bebanmu. …” hatinya bergetar hebat membaca tulisan itu.
Ia buka tiap halaman buku tulis itu. Isinya tak lain tulisan-tulisan Sum. Permata hatinya yang baru saja duduk di bangku kelas empat sekolah dasar.
Ayah, aku ingin membahagiakanmu
Tulisan-tulisan dalam buku itu sangat rapi. Terkesan seperti bait-bait puisi. Semuanya berisi tentang betapa Sum mencintainya. Tak terasa kedua matanya berair. Ia semakin gelisah akan masa depan anaknya.
Lama ia menatap wajah Sum. Penuh cinta ia kecup keningnya. Melepas lelah ia segera terbaring di samping Sum. Memeluknya erat. Mata tertutup sempurna, sebuah harapan akan hari esok terpatri dalam hatinya.
Aku akan selalu berusaha membahagiakanmu, Anakku …

***
Sore hari ketika ia baru saja melepas lelah setelah seharian mengayuh becaknya. Mendapati Sum tak berada di kamar kontrakannya, membuatnya resah. Namun keresahan itu tak berlangsung lama. Matanya kini tertuju pada  sebuah kalender yang tergantung di kamar kontrakannya. Tepat di samping meja tulis tempat biasa Sum menulis puisi-puisinya.
Ia terdiam lama. Melihat coretan-coretan yang dibuat oleh Sum, tapi kemudian matanya terfokus pada sebuah angka di bulan Maret. Tak salah, tanggal lahirnya! Sum telah melingkari tanggal tersebut dan menulis catatan kecil di bawah bulatan itu; ulang tahun ayahku!
Terharu, tentu saja! Ayah mana pun akan merasa sangat bahagia jika anak yang begitu ia sayangi menaruh perhatian besar bagi dirinya. Matanya berkaca-kaca, hampir saja berair lagi. Namun dengan cepat ia tahan laju air yang keluar dari matanya.
Seperti hari-hari sebelumnya, setelah membaca sebait puisi Sum malam itu, ia tak pernah absen satu hari pun untuk membuka buku tulis usang milik Sum. Berharap menemukan bait-bait puisi baru yang diciptakan untuknya. Pada akhirnya, bait-bait puisi yang dibuat anaknya itu telah memberikan rasa candu pada dirinya. Candu untuk membaca bait-bait puisi itu. Lagi dan lagi.
Segera ia raih buku tulis Sum dan membuka halaman paling akhir. Yang dicari akhirnya ditemukan juga. Bukan bait puisi baru untuknya, tapi sesuatu yang membuat hatinya meloncat girang
“Seminggu menjelang hari lahir ayah, aku akan memberikan kejutan yang membuatnya bahagia! Biar semua orang di dunia tahu, betapa beruntungnya aku mempunyai ayah sepertinya. Ayah tanpa tandingan!”
Hatinya berdebar. Tak sabar menunggu kejutan yang dijanjikan. Matanya berair, kali ini tumpah membasahi kedua pipinya. Tentu saja, ini adalah tangis yang disertai oleh senyuman paling manis.
Lihatlah Ning! Anak kita semakin pintar … betapa bangganya aku padanya. Aku yakin, kau juga demikian …
***
“Bu! Puisiku harus terbit tiga hari lagi! Tolong aku ya bu, puisiku adalah kejutan buat ayahku …”
Semua tak disengaja! Baru saja ia mendengar rengekan Sum pada bu Tar. Niat awal kedatangannya ke sekolah Sum adalah untuk menjemputnya. Tak ada yang lain. Mengantarkan sekaligus menjemput Sum ke sekolah adalah rutinitas sehari-hari yang ia lakukan.
“Ini puisiku yang ke tiga puluh bu … aku mohon!”
“Ibu tidak bisa janji sama kamu Sum …”
“Suami ibu kan bekerja di Koran itu bu … ayolah …”
“Nanti, pada saatnya puisi kamu pasti dimuat Sum…”
“Aku mohon bu, aku ingin puisi-puisiku ada di Koran ketika ulang tahun ayahku …” Kedua mata Sum berair. Membasahi lesung pipinya.
Akhirnya ia tahu kejutan apa yang selama ini disiapkan Sum untuknya. Setelah berhari-hari terus bertanya mengenai kejutan itu, ternyata bait-bait puisi itulah yang ingin Sum berikan kepadanya. Puisi yang ingin Sum berikan kepadanya dengan cara yang lain. Dimuat di media massa! Biar semua orang sedunia tahu jika puisi itu dibuat penuh cinta hanya untuknya. Ah, betapa bahagianya ia jika hal itu benar-benar terjadi. Namun mendengar percakapan antara Sum dan bu Tar barusan, ia sama sekali tak mau berharap banyak.
Percakapan antara Sum dan bu Tar berakhir ketika ia menampakan tubuhnya di depan pintu kelas. Sum terlihat sangat kaget menyadari kehadirannya. Mata yang berair segera ia seka dengan tangannya. Sejurus kemudian melempar senyum manis kepada ayahnya. Senyum manis yang dipaksakan, tentu saja.
“Ayo kita pulang, nak..” Sum mengangguk. Segera membereskan buku-buku dan tasnya. Setelah mencium tangan bu Tar, mereka berlalu meninggalkan sekolah. Sepanjang perjalanan Sum terdiam. Tak ada pembicaraan antara keduanya.
***
Hari yang dinanti akhirnya tiba. Pagi hari yang buta ia mengayuh becaknya menuju pasar. Kejutan Sum yang sudah terlanjur diketahuinya itu, sama sekali tak ia harapkan menjadi kenyataan. Sum sudah berusaha untuk itu. Meski demikian, ia semakin menyayangi Sum dan menaruh rasa bangga terhadapnya
Becak segera ia parkir di depan pasar, setelah itu menunggu pelanggan. Tak seperti biasanya, pagi itu ia sengaja membeli  Koran. Membuka halaman demi halaman Koran tersebut. Berita-berita yang disajikan di dalamnya membuat keningnya berkerut. Apalagi kalau bukan soal politik dan hukum yang membingungkan. Sampai pada halaman kesepuluh, matanya terpaku pada kolom puisi anak.
Ya, kejutan itu akhirnya mewujud menjadi nyata! Lima bait puisi yang ditulis Sum untuknya dimuat dalam Koran itu. Hatinya meloncat girang bukan buatan.
“Jen, coba kau lihat ini! Puisi anakku Sum … ini puisi untukku, kado ulang tahun dari Sum!!!” senyum sumringah terpancar dari wajahnya. Koran yang ia pegang segera ia perlihatkan pada teman seprofesinya itu. Kepada pelanggannya, atau bahkan kepada orang-orang yang lewat di pasar itu. Seolah ingin menunjukan kepada dunia bahwa dialah manusia paling bahagia saat ini.
“Sum harus tahu kalau puisinya dimuat! Aku harus segera menemuinya!!!” ia bergegas menuju sekolah Sum, mengayuh becaknya penuh semangat. Penumpang yang tadinya hendak menaiki becaknya, tak ia hiraukan.
Koran yang tadi ia baca, ia pegang erat. Sementara tangan yang satunya lagi berusaha mengendalikan kemudi becak.Berkali-kali matanya kembali membaca puisi-puisi Sum, tanpa memperhatikan kemudi becaknya. Sementara becak terus melaju kencang. Seolah sampai detik ini, ia masih tak percaya puisi Sum akhirnya dimuat. perhatian matanya terbagi dua. Antara mengemudikan becaknya dan bait-bait puisi Sum.
Berkali-kali ia hampir menabrak trotoar. Namun semua tak ia pedulikan. Yang ada di bayangannya hanya Sum. Ia tak sabar melihat senyum sumringah Sum kala melihat puisinya di Koran yang ia pegang. Becak yang ia kemudikan  melaju secepat angin, sementara matanya kini benar-benar tersita hanya untuk bait-bait puisi itu.
Tanpa ia sadari, sebuah truk dari arah yang berlawanan oleng, tabrakan tak bisa dihindari. Sebuah episode hidup tentang dirinya tamat sudah. Darah segar mengalir dari tubuhnya. Orang-orang berkeribun melihat tubuhnya yang tergeletak tak bernyawa di atas aspal yang panas.
***
Sum, anak perempuan itu hanya terdiam melihat Koran yang memuat puisinya. Matanya berair deras, membasahi pipinya. Tak lama setelah itu, puisi yang susah payah ia ciptakan segera dirobek. Ia menangis sejadinya.
“Aku tak ingin lagi menulis puisi!”

[+/-] Selengkapnya...

5 Keping, 3 Hari, 1 Tekad

Mengenang sebuah pengalaman yang begitu menyenangkan;
Workshop pers kampus yang diselenggarakan oleh Sejuk (Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman)
Wisma Hijau, Cimanggis, Depok pada 25-27 Maret 2011

1
Pada sebuah meja, diskusi-diskusi ringan terjalin mesra. Begitu akrab. Seolah telah lama saling mengenal. Pembicaraan-pembicaraan itu berlangsung hampi disela waktu jeda. Batak, china, betawi, sunda. Islam, katolik, Protestan bahkan Ahmadiyah yang selama ini mendapatkan perlakuan tak adil dari kebanyakan orang. Seolah tak ada sekat. Kami semua tertawa bersama. Perbedaan warna-warna tersebut pada akhirnya membentuk suatu kepaduan yang utuh dan indah; pelangi.

2
Pada sesi simulasi redaksi itu, aku bersama seorang kawan yang beragama Katolik mendatangi sebuah komplek kesusteran. Kami diharuskan untuk meliput mengenai keberagaman etnis. Di komplek kesusteran tersebut tinggal sekitar lima belas biarawati yang semuanya berasal dari daerah dan suku yang berbeda. Ada yang dari Batak, Flores, Timor Leste, Jawa …
Bagian inilah yang sebenarnya paling menarik. Merasakan betul bahwa kerukunan dalam keberagamaan itu indah. Bagaimana tidak, suster Theodeta memperlihatkan sebuah situasi yang mukltikultur namun tetap rukun. Sebuah keadaan yang  sebenarnya dangat diidamkan terjadi di Negara ini.
Hal paling menarik lainnya adalah gambaran sebuah situasi yang mengagumkan. Tetangga sebelah komplek suster itu, adalah seorang Muslim yang sangat taat. Suster Theodeta memanggilnya “Pak Haji”. Sebelah rumahnya lagi, seorang Katolik. Tetapi mereka hidup berdampingan dalam suasana damai.
Toleransi dalam beragama mereka perlihatkan dalam perayaan hari raya, Bertukar parsel saat peringatan hari raya, saling berkunjung, bersalaman.
“Kalau Natal, pak Haji kirim kita parsel. Begitu pula kalau Idul Fitri, kita dating ke rumahnya sambil membawakan kue-kue dan bersalaman …”
3.
Seorang kawan yang berbeda agama justru mengingatkanku untuk segera melaksanakan shalat. Ya, sikap seperti inilah yang telah membukakan pikiranku bahwa toleransi beragama itu harus dijalankan. Pada akhirnya toleransi memberikan warna yang indah dalam kehidupan manusia. Aku percaya hal itu.
4
Pada malam terakhir itu, jarum jam menunjuk angka dua. Diskusi-diskusi semakin sering terjadi. Kali ini tak hanya antara peserta saja. Tapi panitia juga. Ada pak Alex, mas Awi, mas Saidiman, dan beberapa lainnya. Suasana terjalin begitu hangat. Lagi-lagi diskusi kali ini multikultur. Seperti yang sudah diduga sebelumnya; percakapan-percakapan yang terjalin begitu hangat. Aku menyukai hal itu.
5
Tiga hari memang terasa sangat singkat. Namun banyak hal yang bisa dipelajari dari serangkaian acara Workshop ini. Bahwa keberagaman itu indah. Tak ada yang harus diperdebatkan lagi mengenai perbedaan. Terimalah dan berdamai dengan segala macam perbadaan.
Perjuangan untuk memberikan pendidikan kepada banyak orang, betapa pentingnya menjaga kerukunan dalam keberagaman harus tetap berjalan. Menuju Indonesia yang damai tanpa ada tindakan kekerasan bagi kelompok mana pun. Dengan alasan apa pun. Semoga …***

[+/-] Selengkapnya...